JUAL PEMANCAR RADIO FM PEMANCAR TV TOWER ANTENA DLL KARANGPANDAN SOLO..... 0271 794 7140......085 293 222 425
RADIO NU SOLO ATAU LEBIH POPULER SIMA ANTENA

ADALAH BENGKEL PEMANCAR RADIO FM

PEMANCAR TV ANTENA PEMANCAR TOWER

DAN PERALATAN PENDUKUNG SIARAN RADIO FM

HUBUNGI http://radionu.blogspot.com

TLP 0271 794 7140 hp 085 293 222 425


Minggu, 12 September 2010

MBAH KHOLIL BANGKALAN MADURA

RADIO NU SOLO
seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,
Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang
teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak
laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Khalil.

Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi
pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga
kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon
kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.


K.H. Khalil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif
adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini
adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah
b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak
salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti
jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.


Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh
dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham
Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi
harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka
orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.


*Belajar ke Pesantren*


Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850–an, Kholil muda berguru pada
Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri
di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke
Pesantren Keboncandi, Pasuruan.


Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih
terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri
sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Khalil rela melakoni
perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap
perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah
Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam
berkali-kali.


Sebenarnya, bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai
Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di
Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh
ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia
juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil
pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan
lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.


Akan tetapi, Khalil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Khalil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik inulah Khalil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.


Kemandirian Khalil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke
Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua
santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Khalil tidak
menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua
orangtuanya.


Kemudian, setelah Khalil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi.
Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup
luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Khalil nyambi menjadi “buruh”
pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5
sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan,
Khalil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan
pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya, dari
situlah Khalil bisa makan gratis.


Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Khalil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Khalil menikah
dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.


Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di
Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Khalil berpuasa.
Hal tersebut dilakukan Khalil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.


Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk
menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Khalil belajar pada para syekh dari
berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya
untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak
heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang
bermazhab Syafi’i.


Kebiasaan hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon,
selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang
makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup
mengherankan. Teman seangkatan Khalil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani,
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani.
Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan
temannya itu.


Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman
dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia,
misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang
kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis
khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang
membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali,
salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.


Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun
kepulangannya), Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat.
Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat
memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz
(hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Khalil dapat mendirikan sebuah
pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.


Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya.
Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya
sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian
diserahkan kepada menantunya. Kiai Khalil sendiri mendirikan pesantren lagi
di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat
alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya
selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.


Di tempat yang baru ini, Kiai Khalil juga cepat memperoleh santri lagi,
bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa.
Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari
Jombang.


Di sisi lain, Kiai Khalil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat
(nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak
durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir
ini, nama Kiai Khalil lebih dikenal.


*Geo Sosiologi Politik*


Pada masa hidup Kiai Khalil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Kiai Khalil sendiri dikenal luas sebagai
ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai
Khalil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen
(1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Kiai Khalil belajar kepada
Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah), tetapi, Martin masih ragu, apakah Kiai Khalil penganut Tarekat
tersebut atau tidak?


Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan;
pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai
Khalil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu,
berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun
bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir
dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebuireng.


Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar,
bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga
dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya
dijadikan tempat persembunyian.


Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan
para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah
membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa
mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga
mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.


Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi
makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan
bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya
merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.


*Kiprahnya Dalam Pembentukan NU*


Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan
lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim
Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang
perlu digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena
tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.


Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada
tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama
Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai
muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah. Kelompok ini
lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di
hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun
dalm bidang pendidikan dan politik.


Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan
Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya
sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu
menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya
tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan.
Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada
saat itu.


Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide
tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah
untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.


Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab,
diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan
meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk
menghadap kepadanya.


“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini
kepadanya.” Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.”
Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa,
Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya
fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun
tas’a. Qala Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila
janahika takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil
kubra.” Pesan Kiai Khalil.


As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah
berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai
Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan
tersebut benar adanya.


“Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat
ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil
mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan
penuh perasaan.


“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.


“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai
Khalil.


Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya
menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim
menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya
mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah
semakin dimatangkan.


Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun
Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari,
pemuda As’ad muncul lagi.


“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata
As’ad.


“Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul
husna) setiap waktu,” tambah As’ad.


Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya
semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah
itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum
juga bisa terwujud.


Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang
ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan
di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.


Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil
untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak
bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang
Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.


Tarekat dan Fiqh


Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab
saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami
Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh.


Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di
daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan
pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di
daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah,
Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.


Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil
dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakali dikarenakan
kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu
kanuragan kepada para pejuang.


Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat
menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat
dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil.


Memang, Kiai Khalil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu
gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan
memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun
demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya;
bahwa Kiai Khalil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai
perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru
meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).


Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil menundukkan tarekat di bawah
Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri
yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa
ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya
referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam
penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.


*Peninggalan*


Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan
tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalkan banyak
sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun
peninggalan Kiai Khalil diantaranya:


Pertama, Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren
sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat
penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun
hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di
sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan
terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus, mendirikan
pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab
Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas), Kiai Ali Ma’shum (Pendiri
Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren
Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil, banyak murid-murid yang dikemudian
hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan
pesantren menjadi jamur di Indonesia.


Kedua, selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia
juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik,
sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.


K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah
seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh
pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang
tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada 1825
(29 Ramadhan 1343 H) dalam usia yang sangat lanjut, 108 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar